Teguran Pusat Tak Digubris, Serapan APBD Kukar Masih Rendah: Tukin dan Belanja Rutin Justru Baru Dibayar di Perubahan

KALTIM, Nettizen.id – Teguran keras dari Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian dan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa terkait rendahnya serapan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) rupanya belum membuahkan hasil. Hingga awal November 2025, Kabupaten Kutai Kartanegara (Kukar) masih memperlihatkan pola lama: realisasi anggaran menumpuk di akhir tahun.

Padahal, pemerintah pusat telah mengingatkan agar belanja daerah dilakukan secara proporsional per kuartal, supaya roda ekonomi tidak “kering” di tengah tahun. Namun di lapangan, sejumlah belanja rutin — termasuk tunjangan kinerja (tukin) pegawai dan honor kegiatan — justru baru dibayar di masa perubahan anggaran.

“Harusnya setiap triwulan ada belanja yang seimbang agar ekonomi rakyat ikut berputar. Tapi faktanya, sebagian besar anggaran justru baru dicairkan di kuartal keempat,” ujar Purbaya Yudhi Sadewa dalam evaluasi nasional APBD pekan lalu.

Fenomena ini menimbulkan Silpa (Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran) yang besar di akhir tahun dan menunjukkan lemahnya budaya pelayanan di birokrasi daerah. Banyak aparatur sipil negara (ASN) dinilai masih memandang pengelolaan anggaran sekadar rutinitas administratif, bukan bagian dari pelayanan publik yang berdampak langsung terhadap masyarakat.

Founder Feedback, H. Salehudin, SE, M.Si, yang juga anggota DPRD Kabupaten Kutai Kartanegara periode 2019–2024, menilai rendahnya disiplin eksekusi anggaran bukan semata soal teknis, tetapi soal pola pikir dan budaya kerja aparatur.

“Budaya pelayanan di ASN kita masih lemah. Banyak yang menunggu perubahan anggaran untuk membayar belanja rutin dan tukin. Ini mencerminkan pola kerja yang reaktif, bukan proaktif,” tegas H. Salehudin kepada Nettizen.id, Kamis (6/11/2025).

Ia menambahkan, ketika belanja rutin saja tertunda, maka belanja pembangunan yang seharusnya menjadi penggerak ekonomi rakyat otomatis ikut terhambat. Hal ini membuat program-program prioritas daerah kehilangan momentum dan manfaatnya tidak segera dirasakan masyarakat.

“Kalau pemerintah menahan uang terlalu lama, maka ekonomi daerah kehilangan daya gerak. Belanja publik itu bukan hanya angka di laporan, tapi darah yang mengalirkan kehidupan ke sektor riil,” ujarnya.

Menariknya, pandangan tersebut sejalan dengan kritik filsuf Rocky Gerung dalam sebuah podcast yang tengah ramai dibicarakan publik.

“Di balik keterlambatan, pasti ada niat jahat. Keterlambatan itu bukan sekadar soal waktu, tapi soal kesengajaan yang membuka ruang permainan,” ujar Rocky Gerung, pengamat sosial dan filsuf.

Menanggapi hal itu, H. Salehudin tak menampik adanya benang merah antara teori dan realita birokrasi di daerah.

“Saya setuju dengan pandangan itu. Dalam konteks realisasi anggaran, terutama APBN atau APBD, ketika belanja dan pembayaran dilakukan di injury time, hampir pasti muncul ruang pungli atau gratifikasi terselubung. Ada yang disebut ‘jasa percepatan’. Jadi, keterlambatan bukan hanya soal administrasi — tapi bisa jadi ada niat di baliknya,” jelasnya.

Pemerintah daerah diharapkan segera menindaklanjuti teguran pusat dengan langkah nyata, bukan sekadar alasan administratif. Sebab, efektivitas APBD bukan hanya soal serapan angka, tetapi tentang seberapa besar dampaknya terhadap kesejahteraan masyarakat di setiap kuartal tahun anggaran.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *