Arianto, Ketua Umum HMI Komisariat Politani Cabang Samarinda Kecam Penolakan DPRD RI terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 60/PUU-XXII/2024 tentang UU Pilkada: “Ini Serangan Terhadap Demokrasi”

Samarinda, 23 Agustus 2024– Penolakan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) RI terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 60/PUU-XXII/2024 yang mengatur perubahan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah (UU Pilkada) pada tanggal 21 Agustus 2024 menuai kecaman keras dari berbagai kalangan, termasuk dari Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Arianto, Ketua Umum HMI Komisariat Politani Cabang Samarinda, menanggapi dengan sangat kritis penolakan tersebut, yang menurutnya merupakan “serangan terang-terangan terhadap demokrasi dan supremasi hukum.”
Arianto: Penolakan DPRD adalah Langkah Berbahaya
Arianto secara tegas menyatakan bahwa tindakan DPRD menolak putusan MK merupakan langkah yang sangat berbahaya dan merusak fondasi demokrasi yang dibangun di Indonesia. “Penolakan ini adalah bentuk pembangkangan terhadap keputusan lembaga yudikatif tertinggi di negara ini. Ini bukan sekadar masalah teknis hukum, ini adalah serangan langsung terhadap independensi MK dan konstitusi kita,” ujar Arianto dengan nada keras.
Menurut Arianto, MK sebagai penjaga konstitusi memiliki kewenangan final dan mengikat, yang seharusnya dihormati oleh seluruh elemen pemerintahan, termasuk DPRD. “Ketika lembaga legislatif seperti DPRD menolak putusan yang sudah melalui mekanisme hukum yang sah, mereka tidak hanya melanggar hukum, tetapi juga melemahkan kepercayaan masyarakat terhadap proses demokrasi. Ini adalah preseden buruk yang tidak boleh kita biarkan terjadi,” tegasnya.
Upaya Melanggengkan Dominasi Elit Politik
Arianto menilai bahwa penolakan DPRD ini tidak bisa dilepaskan dari kepentingan elit politik yang ingin melanggengkan dominasinya dalam Pilkada. Menurutnya, perubahan dalam UU Pilkada melalui putusan MK, yang membuka ruang lebih besar bagi calon independen dan mengurangi ketergantungan pada partai politik, dianggap sebagai ancaman oleh elit politik.
“DPRD menolak putusan ini bukan karena pertimbangan kepentingan rakyat, melainkan karena ketakutan mereka kehilangan kendali dalam proses politik di daerah. Dengan mempertahankan dominasi partai politik, mereka mencoba mengamankan posisi elit, menghalangi partisipasi politik yang lebih luas dari masyarakat,” kata Arianto dengan nada penuh kritik.
Ia juga menambahkan, “Penolakan ini jelas-jelas menunjukkan bahwa DPRD lebih mementingkan kepentingan sempit partai daripada kepentingan rakyat. Mereka takut kehilangan kontrol atas calon-calon kepala daerah yang selama ini hanya menjadi alat politik mereka.”
Mahasiswa dan Masyarakat Harus Melawan
Arianto menyerukan seluruh mahasiswa, khususnya kader HMI, serta masyarakat luas untuk tidak tinggal diam. Menurutnya, sikap diam hanya akan memperburuk situasi dan membiarkan oligarki politik menguasai jalannya demokrasi.
“Kami di HMI tidak akan tinggal diam. Penolakan ini adalah panggilan bagi seluruh elemen gerakan mahasiswa untuk bersatu melawan praktik kotor ini. Kami akan turun ke jalan pada 23 Agustus 2024 di depan Gedung DPRD Provinsi bersama Aliansi Mahasiswa Kalimantan Timur untuk menunjukkan bahwa mahasiswa dan rakyat menolak keras intervensi politik yang merusak ini,” ujar Arianto dengan semangat.
Ia juga menegaskan bahwa aksi tersebut bukan sekadar simbolis, tetapi adalah bentuk perlawanan nyata terhadap pelemahan demokrasi. “Kami tidak hanya bicara, kami bertindak. Penolakan DPRD terhadap putusan MK adalah cermin dari bagaimana elit politik sudah terlalu jauh mencampuri proses hukum dan demokrasi. Ini tidak boleh dibiarkan.”
Penegasan terhadap Demokrasi yang Sesungguhnya
Arianto mengakhiri pernyataannya dengan menegaskan bahwa demokrasi sejati hanya bisa terwujud jika setiap elemen pemerintahan menghormati aturan hukum yang berlaku. “Putusan MK yang telah melalui proses panjang seharusnya dihormati, bukan dipermainkan oleh DPRD. Ini bukan hanya soal Pilkada, ini soal masa depan demokrasi kita. Jika kita membiarkan ini terjadi, kita akan terus tenggelam dalam politik oligarki yang mengabaikan hak-hak rakyat,” tutup Arianto.
Konteks Putusan MK Nomor 60/PUU-XXII/2024
Putusan MK Nomor 60/PUU-XXII/2024 mengubah ketentuan dalam UU Pilkada terkait penguatan hak calon independen serta pengurangan dominasi partai politik dalam proses pencalonan. Penolakan DPRD RI terhadap putusan ini memicu kritik tajam dari berbagai kalangan, terutama mahasiswa yang melihat keputusan tersebut sebagai upaya sistematis untuk membatasi partisipasi politik rakyat dalam Pilkada.