
Kekerasan Fisik oleh Tenaga Pengajar di Politani Samarinda – Tanggapan BEM POLITANI
Nettizen.id, Samarinda-Kekerasan fisik yang terjadi di lingkungan pendidikan tinggi adalah bentuk pelanggaran hak asasi manusia yang tidak dapat ditoleransi. Kasus yang terjadi di Politani Samarinda, di mana seorang tenaga pengajar ASN melakukan tindak kekerasan fisik terhadap mahasiswa kehutanan karena masalah penampilan rambut gondrong, menunjukkan adanya penyalahgunaan kekuasaan yang serius dalam institusi pendidikan.
BEM Politani Samarinda menyatakan sikap yang tegas menyayangkan kejadian ini. Mereka menilai bahwa tindakan kekerasan fisik yang dialami oleh dua mahasiswa (berinisial IA dan M) sama sekali tidak mencerminkan nilai-nilai pendidikan yang seharusnya dijunjung tinggi oleh setiap tenaga pengajar. Lebih mengkhawatirkan lagi, larangan berpenampilan dengan rambut gondrong yang menjadi pemicu kekerasan tersebut bahkan tidak pernah tercantum dalam peraturan kampus sebelumnya.
BEM Politani Samarinda mendesak pihak kampus untuk mengambil tindakan tegas dengan segera memberhentikan dosen tersebut. Mereka berpendapat bahwa tenaga pengajar yang melakukan kekerasan fisik tidak layak untuk terus bertugas mendidik mahasiswa. Selain itu, BEM juga mendorong korban untuk terus menempuh jalur hukum yang sudah dimulai, dan menyatakan dukungan penuh terhadap proses hukum yang adil dan transparan.
Sebagai organisasi yang mewakili suara mahasiswa, BEM Politani Samarinda berkomitmen untuk terus mengawal kasus ini hingga tuntas dan memastikan bahwa keadilan bagi para korban benar-benar ditegakkan. Mereka juga meminta pihak kampus untuk mengevaluasi sistem pengawasan terhadap perilaku tenaga pengajar dan memastikan bahwa kasus serupa tidak akan terulang di masa depan.
Kejadian ini seharusnya menjadi momentum bagi seluruh civitas akademika Politani Samarinda untuk merefleksikan kembali nilai-nilai pendidikan tinggi yang menghormati martabat manusia. Pendidikan tinggi seharusnya menjadi ruang aman untuk pengembangan intelektual dan karakter, bukan tempat di mana kekerasan dilegitimasi atas nama kedisiplinan.